Seorang ibu mengeluhkan anaknya susah di atur. Pethakilan (bahasa jawa: banyak tingkah) melulu. Ibunya sampai stress seakan akan ingin mengibarkan bendera warna putih dan berkata, “Aku Menyerah!”. Si Ibu sudah berpikir keras, bagaimana agar anak bisa lebih nurut, namun belum bertemu solusinya juga. apakah sesusah itu mendidik anak?
Mencermati fenomena seorang ibu yang kerepotan mendidik anak sebenarnya sudah bukan kasus yang istimewa. Tidak satu dua orang ibu malahan yang sebab kehabisan keterbatasan resourches keilmuan berakhir dengan memilih jalur kekerasan dalam mendidik anak-anaknya. Paling tragis, melebihi sifat naluri harimau terganas sekalipun,ibu yang sudah kalap sampai tega membunuh anaknya sendiri.
La emangnya, mendidik anak mudah apa mudah?
Jawabannya, “Mudah”.
Anda mungkin lantas berkata, “Wah ini penulisnya sok banget nih atau sebagainya”. Aslinya memang mudah, asal anda mau terus memperbaiki dan tahu caranya. Sebab, segala sesuatu baik itu masalah, aneka kesulitan, atau segala hal yang terjadi dan kita tidak menginginkannya secara hakiki sebenarnya bermuara pada dua perkara yaitu ANDA SENDIRI atau CARA-CARA ANDA.
Pada kasus anak yang kurang nurut, saya tanya, apakah anda memang sudah memberikan label pada si anak dengan terminologi nurut atau nakal? Lebih sering mana anda memberikan label kepada anak diantara dua perkara tersebut? Lalu, di depan anak, kita sebagai pihak yang sangat berperan besar memberikan teladan (keteladanan merupakan asas yang kuat dalam ilmu parenting), kita sudah nurut sama suami atau istri atau mertua atau orang tua kandung kita dihadapan si anak atau belum?
Semestinya tiga pertanyaan tersebut bisa menjadi bahan renungan. Bagaimana anak bisa lebih nurut wong setiap hari kita memberikan identitas kepada si anak bahwa dirinya anak nakal. Belum kakek atau nenek, tetangga, teman-teman bermainnya,guru playgroupnya yang menguatkan identitas bahwa dirinya nakal. Si anak bermain sedikit menganggu hak teman lainnya, kita cap “anak nakal”. Si anak belum mengerti bagaimana seharusnya menata kembali mainannya bahkan kita belum mengajarinya, kita stampel dahinya dengan perkataan “nakal”. Demikian selanjutnya, yang berulang-ulang dikepalanya berbagai stampel negatif yang menguatkan dirinya sebagai anak nakal.
Bukankah sebaiknya kita budayakan memberi tahu terlebih dahulu bagaimana sikap terbaik, sebelum memberikan penilaian? Bukanlah lebih baik kita memberikan keteladanan dulu dari pada cepat mematikan kreatifitas si anak dengan menstample dia susah diatur? Beri identitas si anak dengan status-status kebaikan walaupun dalam kondisi senakal apapun dalam penilaian diri kita. Ya memang, jika dia sudah over nakalnya, nakal yang sudah melanggar nilai-nilai agama, norma universal yang ada, sampai perilaku membahayakan sebagai agen parenting yang baik, kita harus memberitahu letak kesalahannya, bahkan boleh memukulnya dengan cara yang tidak menyakitkan.
Semoga tips bagaimana supaya anak bisa lebih nurut bisa menginspirasi serta memotivasi sikap optimis bahwa insyallah semua anak pada dasarnya sudah nurut. Hayo, kembalikan mereka pada diri mereka. Tentu dengan cara-cara terbaik. Buku buku karya Ayah Edi, Muhammad Fauzil Adzhim, Dr. Muhammad Nashih Ulwan, serta buku the Nanny 911 saya pikir bisa menjadi referensi kunci dalam memberikan parenting terbaik bagi anak-anak. Senangnya menjadi orangtua pinter :rate
Lebih lengkap coba lanjutkan membaca: 7 Contoh Konkret Mendidik Anak