Hipnotis dalam islam ::anjrahuniversity.com:: Kita bisa belajar dari banyak hal bahkan dari sesuatu yang hanya kita lihat dikeseharian. Sebagaimana hari ini aku belajar banyak mengenai gaya pikir dan metodologi berpikir orang modern saat mendiskusikan Hipnotis dalam islam . Saya cermati kesemuanya terlihat logis, ilmiah, dan sistematis banget. Padahal kalau kita balik berpikirnya dengan metode yang sama hasilnya juga bisa memproyeksikan pemaknaan yang berbeda. Oke, maka pada hari ini saya akan sharekan dengan jurus maut kentut healing, sekedar tawaran berpikir ditengah rancunya gaya pikir modern. Barangkali bisa mengobati kerancuannya itu.
Agar terjadi frame berpikir yang sama saya ceritakan dulu fenomena Hipnotis dalam islam yang saya lihat. Ya kebetulan saya anggota dari sebuah forum bernama FORUM di facebook yakni BEKAM SINERGI, “Sinergi tiga ilmu, pasti bekamnya lebih baik”. Salah satu thread diskusinya membahas tema hipnotis/ hipnotherapy tepatnya Hipnotis dalam islam. Masing-masing anggota forum memperdebatkan perihal halal haramnya metode therapy yang akarnya sering dikaitkan dengan Mr. Sigmund Freud (bapak Psikologi Psikoanalisis). Ya, saya sekedar menyimak bahasan yang ada di sana dan mencoba membaca Gaya pikir yang digunakan dalam mendiskusikannya (baca: dah debat kayaknya).
Hipnotis kita andaikan saja dengan bahasa kentut, yang real bisa di indera oleh panca indera kita
Hipnotis dalam islam sebenarnya kembali pada kaidah membicarakan hipnotis dalam lingkup agama dan logika ilmiah versi gaya pikir yang ada di forum sebenarnya mirip logika orang membicarakan kentut. Kog kentut? ya sebuah pilihan tema diskusi yang mudah saja. Kentut semua orang juga bisa memahaminya terutama bagi seorang muslim paham benar sebab banyak bahasan fiqh yang bertalian dengannya. Mau di area shalat, area tidur, bahkan dalam perkara thaharah tidak lepas fiqh membahas fenomena kentut.
Sampai detik ini mudah sekali kita memahaminya, hanya saja kalau akal “bermain berlebihan” ikut membahas Hipnotis dalam islam, maka akan kacau jadinya. Misalkan ada pernyataan, seseorang yang telah suci dari berwudhu ketika dirinya kentut, maka wudhunya batal. Nah mari kita mainkan akal dengan ‘sedikit berlebih’ di sini. Berpikir nakal=
Sudah tahu kalau berwudhu, lalu kentut itu batal maka kentut definisi kentut itu sendiri seperti apa?
Kalau dia sekedar angin saja yang keluar tanpa bau dan bunyi?
Apakah dia harus memiliki kekuatan tekanan angin sebesar sekian bar?
Bagaimanakah kalau hanya dirinya mempersepsikan kentut saja?
Bagaimana kalau orang diluar dirinya, mempersepsikan ada kentut dan menuduhnya kepada orang lain itu sehingga dia meyakini dirinya kentut, apakah dihitung kentut?
Kalau seandainya, kesepakatan bersama, sesuatu yang berbau mirip kentut (katakanlah bau kaos kaki) di sepakati juga termasuk dalam istilah kentut maka orang yang mengenakan bahan berbau kentut itu dia batal wudhunya?
Saya pikir harus jelas didefinisikan antara kentut tipikal mana yang membatalkan mana yang tidak? kan ada kentut yang memang mengganggu baik bau dan suaranya, ada juga kentut yang tidak bau, hanya suara aja namun tidak menganggu?
Atau, kalau dianalisa, sebenarnya kan yang membuat batal dari kentut itu bau dan suaranya. Misalkan ndak bau dan tidak bersuara, ada angin yang lewat melalui lubang dubur ya tidak membatalkan shalat. intinya kan pada menganggunya.
Kan juga persepsi kentut bau atau tidak itu juga relatif. Ada yang mengatakan bau, ada orang lain yang mengatakan tidak bau itu relatif, maka hukum yang mengatakan kentut itu membatalkan shalat, sifatnya relatif. ya kita tau esensinyalah mengapa itu dihitung batal sebab ada perkara ‘menganggunya’ itu. Sepanjang tidak menganggu kentutnya, maka lanjutkan saja shalatnya. Toh pemaknaan yang terganggu dari kentut itu juga tidak sama satu dan lainnya. Satu orang ngisep bau kentut, biasa aja [karena saking terbiasa dengan aroma kentut-kentut yang sudah beredar luas] atau sudah sangat familiar dengan aneka suara kentut sehingga mau tipe suara kentut seperti apa, tidak ada yang menganggu. Maka, hukum kentut membatalkan wudhu dan shalat, itu relatif, bahkan sudah tidak relevan untuk jaman sekarang. Itu hukum yang dimasa lalu saja dan lain lain…
Ada batas kita gunakan akal, harusnya dipahami saat membahas Hipnotis dalam islam
After All, saya jadi ingat perkataan seorang sahabat Ali Radhiyallahu ‘anhu menyindir seseorang yang mencoba melogikakan selalu melogikakan hukum-hukum dalam islam dengan perkataan, “Kalau sekiranya agama itu dengan ra’yu (pikiran) tentulah bagian bawah khuf (sepatu, kaos kaki) lebih utama diusap daripada bagian atasnya. Sungguh saya melihat Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap pada bagian atas khufnya” (HR Abu Dawud no. 140 dan Ad-Daruquthni). Karena nggak logis, sudah pasti area bawah khuf yang kotor, namun kog dalam kaidah thoharohnya malah bagian atasnya? ambil hikmah dari penjelasan sahabat nabi ini. Bukan perkara Akal saja dalam agama, namun bagaimana hati ikhlash ittiba’ dengan sunnah yang dituntunkan nabi.
Hanya para ulama yang mengerti batasan penggunaan akal disini. Mana saat pakai akal, mana saat akal harus ‘berhenti’ lalu mengedepankan iman pada penjelasan Allah dan RasulNya.
Penggunaan akal jelas ada batasannya dalam memahami dien Islam. Akal harus diletakkan secara proporsional agar bagaimana islam itu sendiri bukan sekedar agama dogmatis yang ndak bisa dicerna akal, namun juga bukan agama yang sepenuhnya selalu bisa dilogiskan serta semata-mata murni harus ada penjelasan beradasarkan akal akan hukum-hukumnya karena memang islam sendiri benar-benar wahyu yang diwahyukan Allah kepada RasulNya. Hanya para ulama yang mengerti batasan penggunaan akal disini. Mana saat pakai akal, mana saat akal harus ‘berhenti’ lalu mengedepankan iman pada penjelasan Allah dan RasulNya. Ehm,, semoga penjelasan kentut healing bisa menginspirasi dalam mendiskusikan Hipnotis dalam islam serta mampu mengobati rancunya gaya berpikir orang modern terhadap syariat islam, Wallahu a’lam.