Mau dikasih makan apa – Ada sebuah kisah, based on true story [sebab diceritakan ke saya langsung], mengenai sebuah fragmen kehidupan yang aku kasih judul “ Mau dikasih makan apa “. Sebuah pengingat, nasehat, catatan kritis mengenai sesuatu yang ‘sudah biasa’ jadi perkataan manusia, namun sebenarnya mengandung konsekuensi agung sebab berkaitan dengan sifat-sifat Rubbubiyah Allah, sifat-sifat keTuhannan yang hanya dimiliki serta berasal dariNya. mari kita simak kisah Mau dikasih makan apa, cekidot.
Setiap hari dalam hidup, semakin banyak belajar untuk lebih arif dan bijak bersikap dengan manusia. Memang kita mau bersikap seperti apa terhadap apa, itu semata-mata hak kita masing-masing. Hanya kadang saya cermati ada beberapa kalimat-kalimat yang ‘terlalu lancang’ sampai merendahkan derajat manusia bahkan posisi manusia dalam kodrat keilahiannya.
Pernah, ada seorang laki-laki datang melamar gadis yang dicintainya. Laki-laki itu cinta dan gadis yang mau dilamarnya pun cinta. Keduanya mempunyai cita-cita ingin bahagia hidup bersama. Tetapi apa kata yang keluar dari mulut paman si gadis itu (di depan si gadis dan lelaki yang melamarnya), “Hey, kamu mau menikah dengan laki-laki itu emang dia bisa kasih kamu makan apa?”.
Memang mau dikasih makan apa, kata sang paman
Perhatikan kalimat yang keluar dari mulut sang paman. Sangat jelas. Sangat tegas, “Memang mau dikasih makan apa?”. Ya Allah, cobalah anda berada pada pihak laki-laki yang mau melamar. Apa yang Anda rasakan? Seberapa remuk redam hatinya? Seberapa pedih yang bisa Anda bayangkan?
“Kalimat memang mau dikasih makan apa?” itu meluncur pada laki-laki yang baik. Dia juga memiliki akhlaq yang baik. Punya tanggung jawab mencari nafkah yang dibuktikan bahwa dia punya pekerjaan. Hanya saja prasangka, ketinggian hati, dan stereotip sang pamanlah yang menjadikan dia mengatakan kalimat ‘yang mengguncang langit’ itu.
Kenapa kalimat “Mau dikasih makan apa” saya katakan mengguncang langit?
Saya yakin rekan-rekan sudah paham semua bahwa jodoh, riski, celaka, bahagia, hidup, dan mati itu sudah sejak zaman azali ditetapkan oleh Allah. Ketika dirinya berusaha keras atas apa-apa yang ditakdirkan, niscaya dia akan mendapatkannya. Seberapapun sulitnya.
Missal urusan “mau dikasih makan apa”, manusia telah ditetapkan pula urusan rejekinya, ya kita lihat dia berusaha atau tidak. Seberapa keras dia berusaha. Seberapa besar perjuangan yang telah dia usahakan untuk menjemput rejekinya. Ya memang ada yang dimudahkan oleh Allah dalam menjemput, ada yang butuh perjuangan besar untuk dapatkan. Ada yang melamar kerja langsung diterima, ada pula yang harus melalui lika-liku melamar kerja hingga diterima. Manusia sebatas berusaha sebesar yang dia mampu lalu kemudian serahkan kepada Allah hasilnya.
Kalimat “mau dikasih makan” apa seperti ‘menyingkirkan’ eksistensi Allah subhanahu wata’ala yang telah membagi-bagikan rejeki bagi hamba-hambanya. Yakinkah Anda yang memebri makan anak Anda, atau keluasan kasih sayang Allah yang kebetulan memberikan anak Anda melalui tangan Anda? Allah yang menjamin seseorang bisa makan. Allah mempunyai berjuta cara (yang dia Maha Mengetauinya caranya) untuk memberi makan seseorang yang kini ‘diamanahkan’ kepada Anda. Bisa ada banyak jalan dan jalan tersebut tidak selalunya melalui Anda.
Mau dikasih makan apa ketika Allah uji anda, anda, atau Allah yang ‘kasih makan’?
Belum tentu, siapapun Anda yang sekarang sudah tampak mapan (baik Anda sebagai orang tua maupun calon lain yang Anda pikir mapan) pasti terjamin dapat memberi makan kepada anak gadis orang lain di keesokan harinya. Allah yang mengatur dan hanya Allah yang bisa menjamin hal itu. Bisa saja detik ini Anda mapan, detik selanjutnya Allah uji Anda dengan sakit. Nggak akan berarti lagi kemapanan Anda yang akhirnya lenyap untuk biaya sakit Anda.
Pada kesempatan lain, ada lagi yang melamar. Dia bermaksud dengan baik-baik melamar seorang gadis. Pada awal kedatanganya dia tersenyum, dia melihat dirinya disambut dengan wajah yang baik oleh orangtua calon istrinya. Setelah dia nyatakan kesungguhannya ingin melamar, orang tua menjawab dengan nada sewajarnya. Belum tegas sang orangtua mengiyakan lamarannya ataupun menolaknya. Tetapi setelah dia pulang, calon istrinya menelpon dan mengatakan,”Mas, setelah mas pulang, Adik bertengkar dengan bapak. Bapak dan ibu berkata, ”Kalau kamu masih sama dia, bapak tidak akan mengurus kamu lagi. Terserah kamu mau apa!”.
Kalimat “bapak ibu tidak akan mengurus kamu lagi” ini juga kalimat yang ‘lancang’ jauh melampaui kodrat keilahian. Kalimat “yang menguncang langit”. Kalimat yang kembali bermuara dari ujub (rasa bangga diri) dan kesombongan. Ia merasa kuasa dengan apa-apa yang telah dilakukan terhadap anak gadisnya. Tetapi renungkanlah hakikat kehidupan ini, “Benarkah Anda yang semata-mata yang mampu mengurus anak Anda?”
Renungkanlah saat anak Anda sakit flu, ya memang Anda yang membeli obat flu. Tetapi dari manakah riski yang Anda gunakan untuk menebus harga obat? Darimanakah kekuatan otot Anda dan kemampuan Anda berjalan menuju apotek berasal? Siapakah yang membuat Anda bisa selamat berangkat dan pulang berjalan dari rumah ke apotek lalu balik ke rumah sehingga obat yang anak Anda butuhkan bisa sampai padanya? Lalu bukankah Anda sekedar memberinya obat, tetapi sungguh Anda tidak mampu memberikan kesembuhan kepadanya? Bukankah ada ‘kekuatan lain’ yang bekerja diluar diri Anda? Anda tau itu kekuatan siapa? Benar-benar kalimat “bapak ibu tidak akan mengurus kamu lagi” ini mengguncang langit.
Wahai bapak sadarlah, “Anda sama sekali tidak mampu mengurusnya, bahkan untuk hal-hal sepele (sakit flu) yang anak gadis bapak alami saja bapak tidak mampu mengurusnya. Tetapi Allah yang mengurusnya”.
Yang terjadi kemudian, sang Anak gadis memilih untuk mengikuti tuntutan sang bapak. Sang bapak kebetulan mereferensikan lelaki lain yang menurutnya lebih mapan dan sesuai dengan seleranya. Akhir kisah pemuda-pemuda ini hanya Allahlah yang mampu menjawabnya. Yang jelas, dapat kita beremphaty padanya, dia sungguh sakit hati. Merasa sangat terzalimi. Keinginannya untuk menyunting gadis idamannya kandas hanya sebab kekurang bijakkan seorang ayah mencermati sebuah realita.
Ya bagi Anda yang masih merasa superior. Masih berani mengatakan kalimat-kalimat lancang itu (atau yang senada dengan itu) mungkin Anda merasa menang serta hebat. Ujub dan kesombongan telah mengalir dalam darah kehidupan Anda. Ingatlah, Allah mencatat setiap kalimat yang keluar dari mulut Anda. Ketahui pulalah, hati yang telah Anda lukai sangat sakit, ia merasa Anda zalimi dengan kalimat ‘lancang’ yang telah keluar dari mulut Anda. Insya Allah doa-doa dari orang yang terzalimi ini sangat manjur, bahkan untuk mendoakan KEHANCURAN bagi Anda.
Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama untuk bisa arif dan bijaklah memilih kata-kata yang akan diucapkan. Selain itu, note semoga pula bisa dijadikan sarana untuk berkaca diri dan sarana menimbang pengambilan keputusan para bapak (para calon orangtua) yang melihat ada seseorang yang melamar anaknya. dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada yang mungkin terasa terlibat dalam note ini, saya Mohon maaf. dan saya meminta maaf pula jika ada kata-kata yang kurang berkenan dalam posting kali ini. semoga bisa jadi renungan yang membawa kita bersikap lebih positif.. Wallahu a’lam.